Featured

  • WikiLeaks, Ujian untuk Internet Sehat?

    SUNGGUH mendebarkan membaca rentetan berita terkait WikiLeaks. Bagaimana situs ini mengumumkan akan mempublikasikan 250 ribu dokumen rahasia, bagaimana pentolan WikiLeaks, Julian Assange diburu Interpol karena diduga melakukan pelecehan seksual, bagaimana Assange ditangkap polisi Inggris, dan bagaimana reaksi para hacker yang bersimpati pada Assange yang kemudian melakukan tindakan balas dendam [...]

    wikileaks" />" alt="" />
  • Karena Internet tak Pernah Lupa...

    BELUM lama ini aku menyaksikan tayangan film seri Criminal Minds berjudul Internet. Berkisah tentang bagaimana para agen FBI dari Behavioral Analysis Unit (BAU) yang mencoba mencari pembunuh berantai yang menjebak korban menggunakan situs jejaring sosial di internet. [...]

    internet" alt="" />
  • Bagi si Kaya, Penjara (Ternyata) Bisa Ditukar dengan Hotel

    BETAPA senangnya jadi orang kaya. Bisa membeli atau menyewa apa saja. Bahkan jika si kaya ini melakukan aksi kejahatan dan dijebloskan ke sel tahanan, lembaran rupiah bisa menukar pengapnya penjara dengan kebebasan sementara. [...]

    koruptor-bebas1" alt="" />
  • Pak Presiden, Air Mata Saja Tidak Cukup!!!

    PIDATO sang presiden yang tadinya lancar tiba-tiba tersendat. Dia terbata. Bola matanya berkaca. Sang presiden berusaha melanjutkan pidatonya. Namun suaranya terdengar tertahan. Dia pun minta maaf. Dan hadirin bertepuk tangan panjang. [...]

    menangis1" alt="" />
  • Ketimbang Alkohol Mending Perempuan?

    PELATIH Manchester City Roberto Mancini memberi tip menarik untuk para pemainnya yang ingin bersenang-senang usai melakoni pertandingan. Menurut Mancini, sebagaimana dilansir kompas, ketimbang mabuk-mabukan menenggak alkohol, mending pemainnya main perempuan!! Wow!! [...]

    minum-alkohol" alt="" />

Kamis, 25 Desember 2008

Pemaaf

Bersifat pemaaf sesama seagama

WACANA ISLAM
Oleh MOHD. SHAUKI ABD. MAJID
JALALUDDIN Rumi penyair sufi terkenal sepanjang sejarah Islam mengingatkan kita bahawa keberagamaan yang tulus dan ikhlas walaupun kecil mampu mengubah dunia. Dan keberagamaan yang tidak tulus dan bersifat munafik, betapa pun besar ia sebenarnya tidak memberi kesan kecuali menjauhkan orang dari agama Islam yang sebenar.

Kemunafikan manusia hari ini jelas tergambar melalui pengakuan mereka sebagai pejuang Islam dan meletakkan diri mereka setaraf dengan ulama serta merasai lebih alim daripada manusia lain tetapi hakikatnya mereka jahil dan bodoh.

Atas perbezaan ideologi yang disertai dengan kejahilan, telah menutup pintu hati dan pemikirannya sehingga berani membuat tuduhan kafir ke atas sesama Muslim. Malah mereka mengkhususkan syurga hanya untuk puaknya dan neraka untuk puak yang lain.

Pengucapan dua kalimah Syahadah, ikhlas atau tidak bukanlah urusan orang lain untuk menilainya kerana dalam masalah ini hanya Allah yang berhak memberi penilaian. Dalam satu peperangan, panglima tentera Islam iaitu Khalid Al-Walid telah membunuh musuh yang mengucapkan Syahadah kerana pada sangkaannya musuh pura-pura kerana takut pedangnya. Peristiwa ini telah menarik perhatian Rasulullah s.a.w dan Nabi menegur: ``Bagaimana boleh mengaku mengetahui isi hati orang itu. Apakah ia pura-pura atau tidak?''

Kita memerlukan Islam yang tampil dengan wajah yang ramah dan penuh kasih sayang. Kita tidak memerlukan Islam yang terikat pada bentuk-bentuk lahiriah yang terlalu setia sehingga mengabaikan inti sebenar daripada ajaran Islam. Demikian juga apa yang berlaku kepada sesetengah golongan apabila memberi syarahan agama yang bertujuan mengajak manusia dekat dengan agama, tetapi bentuk ceramah itu pula disirami dengan celaan, ejekan, kecaman dan teriakan sehingga menjauhkan kecintaan orang ramai kepada agama.

Apa pun bentuk keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dapat menarik semua orang ke pangkuan Islam.

Janganlah bersikap takbur dan angkuh dalam apa juga bentuk perjuangan apatah lagi atas nama Islam. Rasulullah s.a.w pernah berkata kepada Abu Dzar.

Wahai Abu Dzar, barang siapa mati dan dalam hatinya wujud sebesar debu daripada takbur, maka ia tidak akan mencium bau syurga kecuali ia sempat bertaubat sebelum maut menjemputnya.

Manusia yang takbur akan sentiasa dilaknati Allah kerana mereka menyaingi kebesaran dan keagungan Allah dan juga kerana mereka telah membesarkan diri mereka sendiri. Mereka seumpama iblis yang pada mulanya makhluk yang sangat kuat beribadat tetapi takburnya kepada Allah satu saat sahaja, dia dilaknati Allah.

Demikianlah juga segala niat dan perbuatan kita, jika ditegakkan atas dasar sikap takbur maka akan hancur dan sia-sialah hidup serta amalnya. Dengan takbur, hajinya akan ditolak, puasanya sia-sia, solatnya akan membawa kepada kecelakaan. Salman Al-Farisi ketika ditanya ``Apakah perbuatan buruk yang menyebabkan semua kebaikan menjadi sia-sia''. Salman menjawab ``Takbur''.

Janganlah kita membangga diri dengan ilmu yang banyak dan tinggi sehingga meletakkan orang lain semuanya bodoh dan jahil. Janganlah kita bertakbur menimbulkan kerosakan di muka bumi ini, apabila ada segolongan manusia yang seagama menghulurkan tangan untuk bermaafan demi agama Islam yang murni.

Orang yang mulia dan baik di sisi Allah ialah mereka yang memulakan salam dan menghulurkan tangan pada saudaranya untuk berdamai. Manakala orang yang paling jahat adalah sebaliknya. Oleh itu golongan yang menolak tawaran berdamai adalah orang yang paling dibenci oleh Allah.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu (kerana memandang rendah) kepada manusia dan janganlah engkau berjalan di bumi dan berlagak sombong takbur lagi membanggakan diri. (Surah Lukman, ayat 18).

Kesombongan bukan sahaja merugikan manusia di dunia malah mengheretnya kepada kehinaan di akhirat, walaupun sombong itu hanya sebesar zarah.

Kharithsah bin Wahab r.a. berkata, Nabi bersabda yang bermaksud: Mahukah kamu aku beritahu tentang ahli neraka? Iaitu setiap sifat keras hati, berjalan dengan angkuh dan sombong. (Muttaffa-qalaih).

Malah Rasulullah s.a.w. apabila bertemu sesama Islam ia terlebih dahulu memberi salam dan apabila bersalam tidak akan dilepaskan tangannya kecuali orang itu yang melepaskannya dahulu.

Jujur

1. Arti Jujur menurut agama





Jujur Dengan Dakwah

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
Kirim

Ash-shidq (kejujuran) merupakan “Faridhah Diniyyah” satu kewajiban agama yang berlaku dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Karena kejujuran menunjukkan keikhlasan seseorang yang tertinggi dalam beramal. Bahkan kekuatan suatu ucapan atau tindakan justru ditentukan oleh kejujurannya. Ketika orang-orang munafik mengatakan tentang Rasulullah dan secara lahir ucapan itu benar “Kami bersaksi bahwa engkau (Muhammad) adalah utusan Allah”, namun Allah tetap membantah dan mencap mereka sebagai para pendusta karena kebenaran ucapan mereka hanya sebatas di lisan, tidak disertai dengan kebenaran hati. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (Al-Munafiqun: 1)

Demi keagungan sifat shidiq, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat ini di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti dalam surah Ali Imran: 95, “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Juga dalam surah An-Nisa: 122 “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An-Nisa’: 87) dan surah Al-Ahzab: 22, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.

Beberapa Rasul-Nya juga dimuliakan dan dihiasi dengan sifat ini dalam dakwah mereka, seperti dalam surah Yasin: 53 Allah menjamin kebenaran dan kejujuran para Rasul dalam menyampaikan risalah-Nya, “Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(-Nya)”. dan Maryam: 54. “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” Bahkan sifat ini merupakan sifat dasar para pengemban dakwah. Terutama Rasulullah saw selaku uswah dalam semua sifat-sifat yang baik. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal di tengah-tengah masyarakatnya dengan gelar “Ash-shadiqul Amin”. Sangat jelas kepemimpinan dalam dakwah sangat menuntut keteladanan dalam kejujuran dan kebenaran dalam aktivitas dakwahnya.

Begitu besar nilai shidiq dalam kehidupan seseorang. Tentunya bagi seorang dai. Bahkan jika seseorang mampu komitmen dengan sifat ini dalam apa jua keadaan dan tidak pernah meninggalkannya, maka ia akan meraih gelar shiddiq. Dan kedudukan orang-orang shiddiqin adalah di bawah kedudukan para nabi. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An-Nisa’: 69)

Diriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik sepakat untuk melontarkan tuduhan keji kepada Rasulullah, tiba-tiba salah seorang yang dikenal sangat memusuhi Rasulullah yaitu An-Nadhr bin Al-Harits malah berbicara dengan lantang di hadapan mereka karena kebenaran dan kejujuran Rasulullah yang tidak bisa disangsikan lagi dan sudah menjadi buah bibir orang banyak. “Muhammad adalah seorang yang masih beliau percaya di antara kalian. Ia seorang yang paling benar ucapannya, paling besar sifat amanahnya. Jika ia dikenal demikian, apakah kalian tetap akan menuduhnya sebagai tukang sihir? Tidak, sungguh ia bukan tukang sihir”. Ternyata kejujuran justru bisa menjadi pelindung dari rekayasa dan upaya musuh menghasut kita, secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, jika kejujuran atas komitmen dengan dakwah ini berkurang, maka akan mempermudah masuknya rekayasa eksternal atau timbulnya ekses internal yang berdampak kepada menghambat perkembangan dakwah, karena beberapa energi akan dialokasikan untuk membenahi kejujuran secara internal.

Selanjutnya Al-Qur’an menetapkan bahwa sifat shidiq adalah cermin dan sifat dasar orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya yang shaleh, taat dan lurus, padahal keshalehan, ketaatan dan kelurusan merupakan bagian yang dituntut dalam menegakkan dakwah. Allah menggambarkan sifat orang-orang pilihan-Nya dalam surah Az-Zumar: 33 “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Juga dalam surah Al-Hasyr ayat 8 yang menggambarkan kemuliaan orang-orang Muhajirin, “dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Allah sendiri memerintahkan orang-orang yang beriman agar senantiasa bersikap shidiq setelah perintah-Nya agar mereka bertaqwa. Sehingga kesempurnaan ketakwaan seseorang harus senantiasa diiringi dengan kejujuran dan kebenaran. “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119). Sesungguhnya dalam ayat ini terdapat dua perintah sekaligus, yaitu agar orang-orang beriman senantiasa bersifat shidiq, juga senantiasa berada dalam barisan bersama orang-orang yang shadiq.

Bahkan dalam rangka melakukan konsolidasi dan penguatan barisan aktivis dakwah, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar senantiasa mencari dan mengawasi para pengikutnya, sampai benar-benar ia mengetahui orang-orang yang shadiq di antara mereka demi memelihara kemuliaan mereka dan mengetahui orang-orang yang dusta untuk mewaspadai gerak-gerik mereka. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)

Terkait dengan ayat ini, Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat shidiq di dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar beriman. Sifat inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu kedudukannya di bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan manusia tertinggi di atas muka bumi ini”.

Selanjutnya Ibnul Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat ini sebagaimana dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan dan keadaan. Shidiq dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan seperti lurusnya ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah tegaknya perbuatan sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya kepala di atas tubuh seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya amalan-amalan hati dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan pengerahan kemampuan yang maksimal.

Demikianlah beragam bentuk kejujuran yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah. Dan kejujuran yang paling tinggi adalah kejujuran di dalam memegang sumpah setia dan menunaikan janji dengan dakwah hingga titik darah penghabisan. Seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya yang menunjukkan hanya sebagian aktivis dakwah yang mampu berbuat demikian. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23)

Contoh dari kejujuran dalam Al-Wafa’ bil Ahdi bisa ditemukan pada pribadi Anas bin An-Nadhr. Ia telah merealisasikan kejujurannya dalam berjanji dengan Allah untuk tetap teguh dalam dakwah hingga meraih syahadah. Ternyata ia ditemukan syahid dengan kondisi tubuh yang penuh dengan luka. Demikian juga kejujuran yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair yang jujur dengan komitmen dakwahnya hingga ia syahid dalam dakwah.

Dalam konteks ini, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Para syuhada itu terbagi empat golongan. Pertama di tingkat yang paling tinggi adalah seorang mukmin yang baik imannya. Ia bertemu musuh lantas ia menunjukkan kebenaran dengan janjinya hingga terbunuh. Kedua seseorang yang baik imannya namun begitu takut bertemu musuh, namun kemudian ia terkena anak panah yang nyasar dan meninggal. Ketiga seorang mukmin yang bercampur amal baiknya dengan amal buruk, namun kemudian ia bertemu musuh dan membenarkan janjinya hingga meninggal. Keempat seorang mukmin yang banyak melakukan maksiat, namun kemudian ia bertemu musuh dan terbunuh”.

Dakwah ini akan bisa memberikan kebaikan dan keberkahan manakala dikemudikan dan
disertai oleh mereka yang berpegang teguh dengan sifat ini. Betapa dalam urusan jual beli, Rasulullah menyatakan bahwa keberkahan hanya akan diraih jika kedua belah pihak mengedepankan sifat ini. Namun keberkahan itu akan dicabut manakala keduanya atau salah seorang dari mereka tidak peduli lagi dengan kejujuran. “Kedua pihak (penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut kembali”. (Al-Hadits)

Memang bukan hal yang mudah untuk bisa jujur dalam segala urusan dan dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi Ibrahim, seorang nabi yang shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’ memohon kepada Allah agar senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah sehingga menjadi contoh yang baik bagi generasi kemudian. Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 83-84)

Agar bisa dan terbiasa jujur dengan orang lain, perlu diawali dengan jujur terhadap diri sendiri. Terutama jujur dengan kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt. Tentu bisa komitmen dengan sifat ini dalam dakwah membutuhkan motivasi yang tinggi, tekad yang bulat serta keyakinan yang teguh. Diibaratkan oleh Ibnul Qayyim bahwa membawa sifat ini dalam kehidupan seperti mengangkat gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu mengangkatnya melainkan orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya. Karena kejujuran yang sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan saat tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan berbohong.

Sebagai motivasi, perlu untuk senantiasa diingat balasan yang tinggi bagi orang-orang yang bisa jujur, “Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya[457]. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119). Dan sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap orang-orang yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60) betapa kita mendambakan tampilkan aktivis dakwah yang bias berpegang komit dengan kejujuran dan kebenaran dalam segala situasi dan kondisi apapun, sehingga dakwah ini akan lebih memberikan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam. Sudah saatnya memang kita merefleksi sejauhmana tingkat kejujuran kita dengan dakwah ini. Wallahu A’lam



2. Arti jujur menurut umum

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.


Kenapa harus jujur?

Saya sering mendengar orang tua menasehati anak supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang, akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. Tapi setelah mencoba merenungkan dan menyelami permasalahan kejujuran ini, saya masih merasa tidak mengerti: "Kenapa jadi orang harus jujur?"

Umumnya jawaban yang saya dapat adalah bahwa kejujuran adalah hal yang sangat baik dan positif, dan kadang saya juga mendapat jawaban bahwa "Pokoknya jadi orang harus jujur!"

Jawaban-jawaban tersebut sampai saat ini memang sudah saya anggap "benar", tapi saya masih selalu tergelitik untuk terus mempertanyakan: "Kenapa orang harus jujur? Apakah baik dan positifnya? Lalu bagaimana juga jika dikaitkan dengan proses Siu Tao ( ) kita?"


Bagaimana bersikap jujur

Selain pertanyaan - pertanyaan diatas, selanjutnya dalam benak saya timbul pertanyaan: " Bagaimanakah kejujuran itu dapat dipraktekkan dalam sehari-hari, serta bagaimanakah sikap kita sebagai (dibaca: agar dapat menjadi) seorang Tao Yu ( ) yang jujur?"

  • Apakah kita sama sekali tidak boleh berbohong?
  • Dan mungkinkah kita selalu jujur dalam kehidupan sehari-hari ini?
  • Ataukah masih ada toleransi bagi kita untuk berbohong dalam hal-hal tertentu atau demi kepentingan tertentu?
Nah, sekali lagi saya mengajak para pembaca untuk merenungkannya bersama!


Contoh yang "Lucu" (dibaca: tidak jujur)

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering melihat (bahkan juga ikut terlibat) dalam berbagai macam bentuk aktivitas interaksi sosial dimasyarakat, yang justru kebanyakannya adalah wujud realisasi dari sikap tidak jujur dalam skala yang sangat bervariasi, seperti:

Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan berkata "Oh, tidak apa-apa! Anak pintar, enggak sakit, kok! Jangan nangis, yach!".

Menurut saya, dalam hal ini secara tidak langsung si-anak diajarkan dan dilatih kemampuan untuk dapat "berbohong", menutup-nutupi perasaannya (sakit) hanya karena suatu kepentingan (supaya tidak menangis).

Selain itu saya juga sering melihat dan mengalami kejadian seperti: Saat seseorang bertamu kerumah orang lain, ketika ditanya: " Sudah makan, belum?", walaupun saya yakin tawaran sang tuan rumah "serius" biasanya dengan cepat saya akan menjawab "Oh, sudah!! Kita baru saja makan ", padahal sebenarnya saya belum makan.

Dalam lingkungan usaha / dagang, kejujuran sering disebut-sebut sebagai modal yang penting untuk mendapatkan kepercayaan. Akan tetapi sangat kontroversial dan lucunya kok dalam setiap transaksi dagang itulah justru banyak sekali kebohongan yang terjadi. Sebuah contoh saja: penjual yang mengatakan bahwa dia menjual barang "tanpa untung" atau "bahkan rugi" hampir bisa diyakini pasti bohong.

  • Nah, jika demikian, lalu dimanakah letaknya kejujuran itu?
  • Atau bagaimanakah kejujuran yang dimaksud tersebut dapat diaplikasikan dalam dunia sehari-hari?

Toleransi

Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.[1] Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered By Blogger